Janganlah Bersedih

——–

Kehidupan dunia ini adalah semu.

Kehidupan yang hakiki adalah akhirat.

Ketahuilah, yang selamat hanyalah sedikit.

Sesungguhnya tipuan dunia akan hilang.

Semua kenikmatan selain surga akan sirna.

Semua kesusahan selain neraka adalah keselamatan.

Kesenangan dunia dan kesengsaraannya adalah ujian dari Tuhan semesta alam.

Senang dan duka adalah sunnatullah yang pasti mewarnai kehidupan ini.

Semua merasakan senang dan duka datang silih berganti.

Apakah kita menjadi hamba yang bersyukur saat diberi nikmat dan sabar saat diberi cobaan?

Ataukah sebaliknya?

Ada saja hikmah dalam ketetapan Allah Yang Maha Hakim.

Tidaklah tercela bila seorang merasa sedih, asal sewajarnya. Karena itu adalah naluri.

Yang tercela adalah bila ia terlalu larut dalam sedihnya, sehingga berputus asa dari rahmat Allah.

Karena seringkali setan memanfaatkan kesedihan untuk menjerumuskan manusia.

Bersyukurlah atas nikmat Islam.

Karena Islam adalah agama yang menginginkan Anda untuk senantiasa bahagia.

Allah Ta’ala tak ingin melihat hamba-Nya bersedih hati.

Justru saat seorang jauh dari Islam, saat itulah kesedihan hakiki akan menghampirinya,

“Anda seorang muslim? Berbahagialah!”

Kehidupan ini tak selamanya indah. Senang dan duka datang silih berganti. Hal ini semakin memantapkan hati untuk menilai bahwa kehidupan dunia ini adalah semu. Kebahagiaannya semu. Kesedihannya semu.

Ada kehidupan selanjutnya di hadapan kita. Itulah negeri akhirat. Abadi dan hakiki. Di sanalah tempat istirahat dan bersenang-senang yang hakiki, yakni di surga-Nya yang penuh limpahan rahmat dan kenikmatan. Atau kesengsaraan hakiki, di neraka yang panas membara. Tempat kembali orang-orang durhaka kepada Sang Pencipta.

Teringat olehku perkataan yang tersimpan dalam kalbu. Di mana seorang pernah menasehatkan, “Ketahuilah yang selamat hanyalah sedikit. Sesungguhnya tipuan dunia akan hilang. Semua kenikmatan selain surga akan sirna. Dan semua kesusahan selain neraka adalah keselamatan.”

Pembaca yang kami muliakan. Perlu kita sadari bahwa kesenangan dunia dan kesengsaraannya adalah ujian dari Tuhan semesta alam. Apakah menjadi hamba yang bersyukur saat diberi nikmat dan sabar saat diberi cobaan, ataukah sebaliknya. Karena dunia ini adalah daarul ibtilaa’ (negeri tempat ujian dan cobaan). Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

 “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali” (Q.S. Al-Anbiya: 35).

Senang dan duka adalah sunnatullah yang pasti mewarnai kehidupan ini. Tidak ada seorang manusia pun yang terus merasa senang, dan tidak pula terus dalam duka dan kesedihan. Semuanya merasakan senang dan duka datang silih berganti. Jangankan kita, generasi terbaik umat ini, para wali Allah, yakni para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pun pernah dirundung kesedihan. Allah menceritakan keadaan mereka saat kekalahan yang mereka alami dalam perang Uhud, dalam firman-Nya (yang artinya),

 “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang beriman (dengan orang-orang kafir) dan menjadikan sebagian di antara kalian sebagai syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Q.S. Ali Imran: 140).

Allah yang menciptakan kebahagiaan dan kesedihan agar manusia menyadari nikmatnya kebahagiaan, sehingga ia bersyukur dan berbagi. Dan sempitnya kesedihan diciptakan agar ia tunduk bersimpuh di hadapan Tuhan Yang Maha Rahmat dan Mengasihi, serta tidak menyombongkan diri. Hinggalah ia mengadu harap di hadapan Allah. Merendah merengek di hadapan Allah. Bersimpuh pasrah kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. Seperti aduannya Nabi Ya’qub saat lama berpisah dengan putra tercinta; Yusuf ‘alaihimas salam.

“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku.” (Q.S. Yusuf: 86).

Ada saja hikmah dalam ketetapan Allah Yang Maha Hakim (Bijaksana) itu.

 “Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis” (Q.S. An-Najm: 43).

Oleh karena itu, tidaklah tercela bila seorang merasa sedih. Itu adalah naluri. Tak ada salahnya bila memang sewajarnya. Terlebih bila sebab-sebab kesedihan itu suatu hal yang terpuji. Seperti yang dirasakan orang beriman saat melakukan dosa, di mana Nabi mengabarkan bahwa itu adalah tanda iman.

 “Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman.” (H.R. Tirmidzi).

Atau seorang merasa sedih saat tertinggal salat jamaah di masjid, menyia-nyiakan waktu, tertidur di sepertiga malam terakhir hingga luput dari salat tahajjud, ini suatu hal yang terpuji. Ini tanda adanya cahaya iman dalam hatinya.

Yang tercela adalah saat seorang larut dalam sedihnya. Hingga membuat hatinya lemah, tekadnya meredup, rasa optimisnya menghilang, serta sedih yang menghancurkan harapan. Sampai membuatnya tidak mau bergerak, tidak ada ikhtiyar untuk mengubah keadaannya untuk menjadi insan yang bahagia.

Yang tercela adalah kesedihan yang membuatnya lemah untuk meraih ridha Allah, bahkan membawanya pada keputusasaan dan membenci takdir Allah. Karena seringkali setan memanfaatkan kesedihan untuk menjerumuskan manusia. Betapa banyak orang-orang yang tergelincir dari jalan Allah karena larut dalam kesedihan. Oleh karenanya, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa berlindung dari rasa sedih. Di antara doa yang sering dipanjatkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah,

“Allahumma innii a’uudzubika minal hammi wal hazani…

yang artinya, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari gundah gulana dan rasa sedih…” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Tidak perlu berlama-lama memendam kesedihan dalam hatimu. Banyak yang tak menyadari, ternyata setan senang melihat seorang mukmin bersedih. Ia amat menginginkan kesedihan itu ada pada orang-orang beriman. Allah Ta’ala mengabarkan dalam firman-Nya,

 “Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu hanyalah dorongan dari setan. Supaya menjadikan hati orang-orang beriman sedih. Padahal pembicaraan rahasia untuk menggunjing tidak akan merugikan orang-orang beriman sedikitpun, kecuali dengan kehendak Allah. Hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal.” (Q.S. Al-Mujadilah: 10).

Tahukah anda wahai pembaca sekalian? Ternyata bila kita amati, kata-kata sedih dalam Al-Quran tidaklah datang kecuali dalam konteks larangan atau kalimat negatif (peniadaan). Sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam bukunya Madaarijus Saalikiin.

Dalam konteks larangan, misalnya adalah firman Allah Ta’ala, (yang artinya),

 “Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ali Imran: 139).

 “Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka.” (Q.S. An-Nahl: 127).

Beberapa ayat lain juga berbunyi senada.

 “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita” (QS. At-Taubah: 40)

Apa rahasia dari semua ini? Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan,

Rahasianya adalah, karena kesedihan adalah keadaan yang tidak menyenangkan, tidak ada maslahat bagi hati. Suatu hal yang paling disenangi setan adalah, membuat sedih hati seorang hamba. Hingga menghentikannya dari rutinitas amalnya dan menahannya dari kebiasaan baiknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),

 “Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu adalah dari syaitan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita.” (QS. Al-Mujadalah: 10).” (Madaarijus Saalikiin hal: 1285).

Islam Menginginkanmu Bahagia

Bersyukurlah Anda atas nikmat Islam. Karena Islam adalah agama yang menginginkan Anda untuk senantiasa bahagia. Allah Ta’ala, Sang Pembuat Syariat ini, tak ingin melihat hamba-Nya bersedih hati. Oleh karenanya, Islam diturunkan untuk membawa kebahagiaan bagi segenap makhluk, bukan untuk menyusahkan. Dalam surat Thaha Allah berfirman (yang artinya),

 “Kami tidaklah menurunkan Al Quran ini kepadamu untuk membuatmu susah.” (Q.S. Thaha: 2). Artinya, Islam diturunkan untuk membuatmu bahagia.

Justru saat seorang jauh dari Islam, saat itulah kesedihan hakiki akan menghampirinya, dia memang pantas untuk mendapat kesedihan,

bila kita perhatikan sebuah hadis Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka kita bisa memyimpulkan sebuah kesimpulan yang indah, di mana Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,

 “Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbicara/berbisik bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, sampai kalian bercampur dengan manusia. Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih.” (H.R. Bukhari no. 6290 dan Muslim no. 2184).

Sekedar berbisik bila membuat saudaranya sedih saja dilarang. Ini menunjukkan bahwa Islam begitu menjaga perasaan penganutnya dan amat menginginkan kebahagiaan dalam hati setiap insan. Bahkan Allah senang melihat tanda-tanda bahagia itu tampak dalam diri kita.

Maka betapa indahnya Islam, agama yang mencintai kebahagiaan pada dirimu, dan mengenyahkanmu dari duka cita, di dunia dan di akhirat. Wahai saudara ku usirlah kesedihan dari hatimu. Jangan biarkan setan memanfaatkannya, karena setan selalu mengintai setiap gerak-gerik kita. Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kabarkan,

 “Sesungguhnya setan mendatangi kalian dalam setiap keadaan kalian. Sampai setan ikut hadir di makanan kalian” (H.R. Muslim).

Terakhir sebagai penutup tulisan ini, kami ingin katakan, “Anda seorang muslim? Berbahagialah!”

Wallahu Ta’ala A’laa wa A’lam.

Ditulis oleh Ustaz Ahmad Anshori, disarikan dari muslim.or.id dengan penyesuaian.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *