Untuk kita semua, yang tengah menanti ajal tiba

At-Tauhid Edisi 16/11

“Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian..” (Q.S. Ali Imran : 185)

Kematian adalah rahasia Allah Ta’ala, dan merupakan sebuah kepastian atas makhluk-Nya.
Manfaat mengingat kematian : ·          
1. Memotivasi supaya bersegera dalam taubat
2. Menjadikan diri bersemangat dalam ibadah
3. Bersikap qana’ah terhadap pemberian Allah

Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas amal yang diperbuat, sekecil apapun amal tersebut.
Orang yang cerdas adalah orang banyak mengingat mati dan mempersiapkan bekal terbaik dalam menghadapi kematian.

“Seandainya kematian merupakan tempat peristirahatan yang tenang dari seluruh keluh kesah hidup manusia di dunia…

Niscaya kematian merupakan suatu kabar gembira yang dinanti-natikan bagi setiap insan…

Akan tetapi kenyataannya berbeda…
Setelah kematian itu ada pertanggungjawaban dan ada kehidupan…”

Kematian Adalah Kepastian

Betapa banyak berita kematian yang sampai di telinga kita, mungkin mengabarkan bahwa tetangga kita, kerabat kita, saudara kita atau teman kita telah meninggal dunia, menghadap Allah Ta’ala. Akan tetapi betapa sedikit dari diri kita yang mampu mengambil pelajaran dari kenyataan tersebut. Saudaraku, kita tidak memungkiri bahwa datangnya kematian itu adalah pasti. Tidak ada manusia yang hidup abadi. Realita telah membuktikannya. Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya),

Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian, dan kelak pada hari kiamat saja lah balasan atas pahalamu akan disempurnakan, barangsiapa yang dijauhkan oleh Allah dari neraka dan dimasukkan oleh Allah ke dalam surga, sungguh dia adalah orang yang beruntung (sukses).” (Q.S. Ali Imran : 185).

Saudaraku, kematian itu terjadi pada setiap manusia. Semuanya akan menjumpai kematian pada saatnya. Entah di belahan bumi mana kah manusia itu berada, entah bagaimanapun keadaanya, laki-laki atau perempuan kah, kaya atau miskin kah, tua atau muda kah, semuanya akan mati jika sudah tiba saatnya.

Kematian Adalah Rahasia Sang Pencipta

Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya),

Sesungguhnya di sisi Allah sajalah pengetahuan tentang (kapankah) datangnya hari kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan air hujan, dan Dia lah yang mengetahui tentang apa yang ada di dalam rahim, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia kerjakan esok hari, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui di bumi manakah dia akan mati.” (Q.S. Luqman : 34).

Saudaraku, jika kita tidak tahu di bumi manakah kita akan mati, di waktu kapan kah kita akan meninggal, dan dengan cara apakah kita akan mengakhiri kehidupan dunia ini, masihkah kita merasa aman dari intaian kematian? Siapa yang bisa menjamin bahwa kita bisa menghirup segarnya udara pagi esok hari? Siapa yang bisa menjamin kita bisa tertawa esok hari? Atau, siapa tahu sebentar lagi giliran kematian Anda wahai Saudaraku.

Di manakah saudara-saudara kita yang telah meninggal saat ini? Yang beberapa waktu silam masih sempat tertawa dan bercanda bersama kita. Saat ini mereka sendiri di tengah gelapnya himpitan kuburan. Berbahagialah mereka yang meninggal dengan membawa amalan salih, dan sungguh celaka mereka yang meninggal dengan membawa dosa dan kemaksiatan.

Faidah Mengingat Kematian

Ad-Daqaaq rahimahullahu mengatakan, “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian, maka akan dianugerahi oleh Allah tiga keutamaan, [1] bersegera dalam bertaubat, [2] giat dan semangat dalam beribadah kepada Allah, [3] rasa qana’ah dalam hati (menerima setiap pemberian Allah).” (Al-Qiyamah Ash-Shugra, Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar).

1) Bersegera Dalam Bertaubat

Sudah dapat dipastikan bahwa manusia adalah makhluk yang banyak dosa dan kemaksiatan. Seorang manusia yang banyak mengingat kematian, dirinya sadar bahwa kematian senantiasa mengintai. Dia tidak ingin menghadap Allah Ta’ala dengan membawa setumpuk dosa yang akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Dia akan sesegera mungkin bertaubat atas dosa dan kesalahannya, kembali kepada Allah Ta’ala. Allah telah berfirman (yang artinya),

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan keburukan dikarenakan kebodohannya, kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima taubatnya oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nisa : 17).

Maksud dari berbuat keburukan karena kebodohan dalam ayat di atas, bukanlah kebodohan seorang yang tidak mengetahui sama sekali bahwa apa yang dia kerjakan merupakan sebuah keburukan. Orang yang berbuat buruk dan tidak mengetahui sama sekali tidak akan dihukum oleh Allah. Akan tetapi yang dimaksud kebodohan di sini adalah seseorang yang mengetahui bahwa apa yang dia lakukan adalah keburukan, namun dia tetap saja melakukannya lantaran dirinya dikuasai oleh hawa nafsu. Inilah makna kebodohan dalam ayat di atas. (Syarah Al Qawa’idul Arba’, Syaikh Shalih Fauzan).

2) Giat Dan Semangat dalam Beribadah kepada Allah

Seorang yang banyak mengingat kematian, akan senantiasa memanfaatkan waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Jadilah engkau di dunia ini bagaikan seorang yang asing atau seorang yang sedang menempuh perjalanan yang jauh”. Mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, lantas Abdullah Ibnu Umar berkata, “Jika engkau berada di sore hari jangan engkau tunggu datangnya pagi hari, jika engkau berada di pagi hari jangan engkau tunggu datangnya sore hari, pergunakanlah waktu sehatmu (dalam ketaatan kepada Allah) sebelum datangnya waktu sakitmu, dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum kematian datang menjemputmu. (H.R. Bukhari).

3) Muncul Rasa Qana’ah di Dalam Hati

Allah Ta’ala akan menanamkan rasa qana’ah di dalam hati seseorang yang banyak mengingat kematian. Rasa qana’ah yang membuat seseorang merasa cukup terhadap setiap pemberian Allah Ta’ala, bagaimana pun dan berapa pun pemberian Allah. Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Abu Dzar berkata,

Kekasihku, yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya) beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, dan beliau memerintahkan aku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku. …” (H.R. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Seseorang yang banyak mengingat kematian, meyakini bahwa segala pemberian Allah dari perbendaharaan dunia adalah titipan dari Allah. Seluruhnya akan diambil kembali oleh Allah, dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala atas seluruh pemberian tersebut. Nas’alullaha al afiyah.

Kehidupan setelah Kematian

Di antara keimanan kepada hari kiamat adalah meyakini bahwa setelah kematian ini ada kehidupan. Semuanya akan berlanjut ke alam kubur kemudian ke alam akhirat. Di sana ada pengadilan Allah Ta’ala yang Maha Adil. Semua manusia akan diadili, mempertanggungjawabkan setiap amalan yang dia perbuat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Barangsiapa yang berbuat kebaikan meskipun sekecil biji dzarah, niscaya dia akan melihat hasilnya, dan barang siapa yang berbuat keburukan meskipun sekecil biji dzarah, niscaya dia akan melihat akibatnya.” (Q.S. Al Zalzalah: 7-8).

Terakhir Saudaraku, jadilah orang yang cerdas. Orang yang cerdas dalam memandang hakikat kehidupan di dunia ini. Abdullah Ibnu Umar pernah berkata, “Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu seorang laki-laki Anshar datang kepada beliau, kemudian mengucapkan salam kepada beliau, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, manakah di antara kaum mukminin yang paling utama?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’ Dia berkata lagi, ‘Manakah di antara kaum mukminin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat kematian di antara mereka, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian. Mereka itu orang-orang yang cerdas.’” (H.R. Ibnu Majah).

Semoga bermanfaat. Allahul Muwaffiq ila Aqwamit Thariq

Penulis: Hanif Nur Fauzi (Alumnus Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta)

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *