Menjelang Bulan Suro

Buletin Tauhid Edisi 15/32

Di antara 12 bulan hijriah, ada 4 bulan yang Allah istimewakan, di antaranya Bulan Muharram, yang dikenal di tempat kita sebagai Bulan Suro. Bulan Suro bukanlah bulan kesialan.

Sesungguhnya kezaliman di dalam bulan-bulan haram lebih besar bahaya dan dosanya dibandingkan kezaliman di bulan-bulan lainnya.[1]

Peluang Amal Salih di Bulan Muharram :
1. Dianjurkan banyak berpuasa di dalamnya.
2. Berpuasa ‘Asyura di tanggal 10 Muharram.
3. Berpuasa satu hari sebelumnya atau sesudahnya dalam rangka menyelisihi Yahudi.
4. Memperbanyak amal salih dan menjauhi maksiat.

Sesungguhnya dunia telah berlalu jauh ke belakang, sedangkan akhirat datang menjelang. Masing-masing memiliki anak (yakni hamba dunia dan hamba akhirat). Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Sebab, hari ini yang ada hanyalah amal dan belum ada hisab (perhitungan amal), sementara esok (hari akhir) yang ada hanyalah hisab dan bukan saat beramal.[2]

[1] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, II/444
[2]  Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/378, Fathul Bari, 11/239

Saudaraku yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, tak lama lagi kita akan memasuki Bulan Muharram. Masyarakat Jawa lebih mengenal bulan ini dengan nama Bulan Suro. Bulan Suro bukanlah bulan kesialan, bukan pula bulan saat kita harus menghindari aktivitas dan mengurungkan hajat besar kita karena takut terjadinya kesialan.
Akan tetapi, Bulan Muharram sejatinya adalah bulan yang telah Allah muliakan sebagai salah satu dari empat bulan haram (yang disucikan). Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita memuliakan bulan ini dengan ibadah dan amalan salih.

Mulianya Bulan Muharram

Pembaca yang budiman, Allah Ta’ala telah memuliakan Bulan Muharram sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu”. (Q.S. At Taubah : 36).

Empat bulan suci tersebut adalah Bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al-Muharram, dan Rajab. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, yaitu tiga bulan berturut-turut Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram serta Rajab yang ada di antara bulan Jumada dan Sya’ban”. (H.R. Bukhari).

Mengapa keempat bulan tersebut dinamakan bulan haram?
Al Qadhi Abu Ya’la rahimahullah menjelaskan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna :
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah dahulu.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan maksiat lebih ditekankan daripada bulan-bulan lainnya disebabkan mulianya bulan tersebut”. (Zaadul Masir, III/432).

Peluang amal salih di Bulan Muharram

[1] Memperbanyak puasa sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yakni bulan Muharram. Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (H.R. Muslim).

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadits di atas merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa (setelah Bulan Ramadhan –pen.) adalah pada Bulan Muharram” (Syarh Shahih Muslim, VIII/55).

Di antara sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah, dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram (Latha-if Al Ma’arif, hal. 71).

[2] Puasa ‘Asyura (tanggal 10 Muharram)

Pembaca yang dicintai Allah, hari ‘Asyura (10 Muharram) adalah hari yang dimuliakan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertutur tentang keutamaan hari ‘Asyura dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ”Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu menjaga keutamaan satu hari di atas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (hari ‘Asyura) dan bulan ini (bulan Ramadan).” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Di antara bentuk memuliakan hari ‘Asyura adalah dengan berpuasa pada hari tersebut. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, orang-orang yahudi sedang berpuasa ‘Asyura. Mereka mengatakan, “Ini adalah hari di mana Musa berhasil mengalahkan Fir’aun.” Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, ”Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah!” (H.R. Bukhari).

Tak hanya itu, Nabi pun telah mengabarkan tentang besarnya ganjaran bagi orang yang berpuasa di hari ‘Asyura. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, ”Nabi ditanya tentang puasa ‘Asyura, kemudian beliau menjawab, ‘Puasa Asyura menjadi penebus dosa setahun yang telah lalu’. (H.R. Muslim).

[3] Menyelisihi Yahudi dengan puasa Tasu’a (Tanggal 9 Muharram)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ”Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka (para sahabat) berkata,’Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh orang yahudi dan nasrani’. Maka beliau bersabda, ‘Kalau begitu tahun depan in syaa Allah kita akan berpuasa juga pada 9 Muharram (Puasa Tasu’a)’.”. Ibnu ‘Abbasberkata, “Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah telah wafat.” (H.R. Bukhari).

Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama berpendapat tidak disukainya berpuasa tanggal 10 Muharram saja karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi. Tetapi, ulama lain membolehkan meskipun pahalanya tidak sesempurna ketika digandengkan dengan puasa hari sebelumnya yakni puasa Tasu’a (9 Muharram). (Syarhul Mumti’).

[4] Perbanyak amal salih dan jauhi maksiat

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Janganlah kalian menganiaya diri kalian di bulan-bulan tersebut”  (Q.S. At Taubah : 36).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan, “Allah telah mengkhususkan empat bulan tersebut dari dua belas bulan yang ada. Allah pun menjadikannya sebagai bulan-bulan yang haram (disucikan) dan mengagungkan kemuliannnya. Allah jadikan dosa yang dilakukan di bulan tersebut lebih besar (perhitungannya) dibandingkan bulan-bulan lainnya, serta memberikan pahala yang lebih besar untuk amalan-amalan salih.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, II/444).

Qatadah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kezaliman di dalam bulan-bulan haram lebih besar bahaya dan dosanya dibandingkan kezaliman di bulan-bulan lainnya. Padahal, perkara kezaliman merupakan dosa yang besar dalam setiap kondisi, tetapi Allah menjadikan sebagian perkara menjadi agung sesuai dengan kehendaknya.(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, II/444).

Oleh karenanya saudaraku, mari kita perbanyak amal ketaatan di bulan ini dengan membaca Al-Qur’an, banyak berpuasa, bersedekah, salat malam, berdzikir, dan ibadah-ibadah lainnya mengingat besarnya pahala yang Allah janjikan. Pun tak lupa, kita jauhi maksiat kepada Allah, yang sejatinya maksiat itu adalah perbuatan menzalimi diri kita, karena dosa di bulan haram lebih besar dibandingkan dosa-dosa selain bulan haram.

Muharram bukan sekadar selebrasi, tapi bulan introspeksi

Saudaraku yang semoga senantiasa dicintai Allah, tak terasa kita telah berada di awal bulan hijriah. Begitu cepatnya tahun berganti sampai-sampai kita tidak sadar usia kita di dunia pun semakin berkurang. Perlahan tapi pasti, kita semakin dekat dengan kehidupan akhirat.

Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bertutur, “Sesungguhnya dunia telah berlalu jauh ke belakang, sedangkan akhirat datang menjelang. Masing-masing memiliki anak (yakni hamba dunia dan hamba akhirat). Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Sebab, hari ini yang ada hanyalah amal dan belum ada hisab (perhitungan amal), sementara esok (hari akhir) yang ada hanyalah hisab dan bukan saat beramal.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/378, Fathul Bari, 11/239).

Pergantian tahun hijriah bukanlah termasuk hari raya dalam Islam yang harus disambut dengan selebrasi. Esensi yang lebih penting, pergantian tahun mengingatkan kita supaya introspeksi diri dan mengingatkan ternyata umur kita semakin bertambah. Lalu muncul pertanyaan di benak kita, “Semakin bertambah usia kita, apakah kita semakin dekat menuju surga atau malah semakin dekat ke neraka?”

Semoga Allah karuniakan hidayah taufik-Nya kepada kita agar senantiasa mengintrospeksi diri dan sibuk menyiapkan bekal menuju kampung akhirat. Semoga Allah mudahkan kita beramal salih di bulan yang mulia ini dan menjauhkan kita dari perbuatan maksiat, sehingga kita semua kelak sampai ke tujuan utama kita. Ya, sampai di surga Allah Ta’ala. Aamiin.

Penulis : Bagas Prasetya Fazri , S. Farm., Apt. (Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)
Muraja’ah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *