Berbakti kepada Orang Tua

Al Quran menekankan sikap berbakti kepada orang tua,
atas besarnya jasa kedua orang tua

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya yang mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (Q.S. Luqman :14)

Para nabi dalam berbakti kepada orang tua

a) Nabi Yusuf  ‘alaihissalam tetap memuliakan kedua orang tuanya walau sudah memiliki jabatan tinggi di Mesir

b) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tetap sabar, lembut, dan besar hati dalam mengajak ayahnya untuk bertauhid kepada Allah, walaupun orang tuanya menolak dakwah tersebut.

Di antara contoh durhaka kepada orang tua:

1. Tidak menghormati orang tua

2. Tidak santun kepada orang tua

3. Merepotkan orang tua

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal yang salih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. Al-Ahqaaf : 15).

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya yang mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (Q.S. Luqman :14).

Besarnya Jasa Kedua Orang Tua

Dalam menekankan sikap patuh kepada orang tua, Al Quran tidak hanya menjelaskannya pada satu atau dua ayat dalam surat yang berbeda, namun lebih dari itu. Perintah yang turun dari Allah ini merupakan kewajiban bagi seorang anak untuk menyantuni kedua orang tuanya, bagaimanapun keadaannya. Sebab, orang tua telah mendedikasikan hidupnya demi merawat anaknya tanpa meminta kembali waktu yang telah diluangkan. Orang tua telah menanamkan keikhlasan dalam menjaga dan menuntun kita, hingga kita mengetahui bagaimana kita harus memperlakukan semesta.

Dalam dua ayat tersebut, dijelaskan bahwa peran kedua orang tua sangat besar terhadap tumbuh kembang kita, terutama ibu. Bagaimana tidak, siapa yang rela menanggung rasa lelah, lemah, dan khawatir ketika sedang mengandung, menyusui, menyuapi, serta menanggung segala beban yang berkaitan langsung dengan kita selain ibu? Bahkan peran yang dimiliki oleh seorang ibu tidak akan pernah bisa digantikan oleh seorang ayah. Di situlah mengapa tingkatan yang lebih mulia di antara kedua orang tua kita adalah ibu.

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya kembali, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Lagi-lagi beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu pun bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Maka beliau menjawab, “Ayahmu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Walaupun kata “ibu” disebutkan sebanyak tiga kali dalam hadits yang menjelaskan tingkatan kepatuhan kita terhadap orang tua, namun kita sebagai anak juga tidak bisa memungkiri jika bapak juga memiliki kontribusi yang besar terhadap keberlangsungan hidup kita. Sebagai tulang punggung dan kepala rumah tangga, beliau harus rela mengucurkan keringat yang lebih deras demi menyambung nafas anak dan istrinya. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengabaikan maupun mendurhakai mereka, atau bahkan tidak menganggapnya lagi sebagai orang tua kita.

Bagaimana Para Nabi Berbakti kepada Orang Tua

Kita ambil contoh sosok panutan kita, Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Walaupun gelar bendahara di negeri Mesir sudah ada pada dirinya, namun Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak pernah lupa, apalagi mengabaikan kedua orang tuanya. Beliau tetap memuliakannya sebagaimana dirinya dulu ketika diperlakukan dengan baik oleh kedua orang tuanya. Walau Nabi Yusuf berjuang dengan amat panjang dalam mencapai posisinya sebagai bendahara Mesir, termasuk penderitaan yang beliau alami dari saudara-saudaranya, serta fitnah dari istri pembesar kerajaan, Nabi Yusuf ‘alaihissalam tetap dengan lapang dada mendudukkan ibu dan bapaknya di atas kursi singgasana beliau. Nabi Yusuf ‘alaihissalam pun membungkuk di hadapan ibu bapaknya dengan penuh rasa hormat.

Kisah lain yang mungkin sudah banyak diketahui oleh kita adalah kisah dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan ayahnya, Azar, Sang pembuat patung sesembahan orang kafir. Walaupun ayahnya masih saja kokoh untuk menolak bertauhid kepada Allah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tetap dengan besar hati dan sabar mengajak ayahnya untuk meniti jalan kebenaran sebagaimana yang Allah perintahkan. Namun, ajakan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam selalu saja gagal, bahkan sampai masyarakat membakar hidup-hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam karena berusaha mengancurkan berhala-berhala yang menjadi sesembahan tersebut.

Bentuk-bentuk Durhaka kepada Orang Tua

Agama Islam telah memerintahkan umatnya untuk senantiasa birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua), melarang ‘uququl walidain (durhaka kepada kedua orang tua), bahkan memasukkan perbuatan durhaka tersebut ke dalam dosa-dosa besar yang mengiringi kesyirikan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, “Seorang Arab Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu?”. Beliau menjawab, “Menyekutukan sesuatu dengan Allah”. Ia bertanya lagi, “Kemudian apa?”. Beliau menjawab, “Kemudian durhaka kepada dua orang tua,”. Ia bertanya lagi, “Kemudian apa ?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sumpah yang menjerumuskan”. Aku bertanya, “Apa sumpah yang menjerumuskan itu?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sumpah dusta yang menjadikan dia mengambil harta seorang muslim”.”  (H.R. Bukhari).

Pernyataan durhaka kepada orang tua ditekankan pada jawaban kedua oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal tersebut merupakan tanda bahwa kita tidak boleh menyepelekan kedua orang tua bagaimanapun bentuknya.

            Sebagai anak yang tidak ingin dicap sebagai anak durhaka, maka kita perlu introspeksi, apakah selama ini kita masih berbuat semena-mena terhadap orang tua? Sebenarnya bentuk mendurhakai orang tua bisa saja tidak kita sadari, sehingga konteks yang kita anggap sebagai hal biasa ternyata termasuk sebagai perbuatan mendurhakai orang tua.

Berikut termasuk contoh durhaka terhadap orang tua:

  1. Tidak menghormati orang tua dan tidak bersikap santun terhadapnya.

Sebagai anak yang taat terhadap orang tua, sebaiknya kita mengetahui bagaimana cara menyantuni kedua orang tua. Di antaranya adalah dengan tidak bermalas-malasan ketika orang tua meminta bantuan. Kita menganggap tugas yang diberikan kepada kita sebagai tugas yang mulia agar orang tua senang memiliki anak yang bermanfaat dan tidak mengabaikan perintah. Selain itu, tidak mengeraskan suara sebagai tanda kita menghormati orang tua, dan alangkah lebih baiknya jika kita bersikap sopan ketika melewati kedua orang tua yang sedang duduk.

  • Menyakiti hati orang tua.

Salah satu cara menyenangkan hati orang tua adalah berbicara dengan lemah lembut, dengan bahasa yang sopan, tanpa menggunakan nada yang menyepelekan. Apabila orang tua memberi nasehat, kita wajib mendengarkan dengan baik dan tidak menyela karena hal tersebut akan menyakiti hati orang tua kita.

  • Memerintah dan merepotkan orang tua.

Semakin usia kita bertambah, orang tua pun demikian. Semakin dewasa kita, maka kita juga harus menyadari bahwa yang seharusnya memenuhi kebutuhan orang tua adalah kita, bukan malah terus saja meminta kepada orang tua. Hal tersebut termasuk merepotkan orang tua, karena orang tua harusnya menikmati masa tuanya dengan nyaman, bukan malah kita perintah untuk melakukan apa yang kita inginkan.

            Masih banyak bentuk durhaka terhadap orang tua yang harus kita waspadai agar kita tidak terlewat batas dalam bersikap kepada orang tua. Kita harus berusaha untuk membuat orang tua bangga memiliki kita dan merasa senang jika memiliki anak yang patuh terhadapnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kita sangat bersungguh-sungguh dalam menaati perintah Allah dan merupakan bentuk kasih sayang kita terhadap orang tua yang memiliki jasa terhadap keberlangsungan hidup kita.

Penulis: Nizar Hidayatur Rahman (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *