Serba-Serbi Bulan Muharram

At Tauhid edisi VII/46

Oleh: Rizki Amipon Dasa

Hendaknya kita merasa cukup dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, dan sejelek-jelek perkara dalam agama adalah amalan ibadah baru yang diada-adakan.

Keutamaan Bulan Muharram

Bulan Muharram termasuk bulan yang disucikan Allah ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mensifati dan menisbatkannya kepada Allah dengan menamainya sebagai “syahrullah al muharram” (bulan Allah Al Muharram). Hal ini menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan ini di sisi Allah ta’ala, karena tidaklah Allah menggandengkan sesuatu dengan nama-Nya kecuali dengan makhluk-Nya yang istimewa.(Lathaiful Ma’arif hal 70, karya Ibnu Rajab Al Hambali)

Al Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah membuka tahun dengan bulan yang suci dan menutupnya dengan bulan yang suci pula. Dan tidaklah ada bulan dalam setahun yang lebih agung di sisi Allah setelah bulan Ramadhan kecuali bulan Muharram.” (Lathaiful Ma’arif hal 67, karya Ibnu Rajab Al Hambali)

Bulan Muharram merupakan bulan yang Allah utamakan. Sisi keutamaannya adalah bahwa berpuasa di bulan ini lebih utama daripada berpuasa di bulan yang lain selain bulan Ramadhan, sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alai wa sallam, “Puasa paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Al Muharram.” (HR. Muslim)

Adapun hadits yang menceritakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa apa yang paling utama setelah puasa Ramadhan, kemudian beliau menjawab, “Puasa pada bulan Sya’ban dalam rangka mengagungkan Ramadhan.” Kemudian beliau ditanya lagi tentang sedekah apa yang paling utama, kemudian beliau menjawab,”Sedekah di bulan Ramadhan.” Hadits tersebut adalah hadits yang mungkar begitu pula dengan hadits: “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Sya’ban.”

Imam An Nawawi berkata dalam kitab Al Adzkar,”Makruh hukumnya menamai bulan Muharram dengan Shafar karena hal tersebut merupakan kebiasaan jahiliyah.” (Al Adzkar hal.313, karya An Nawawi)

Ibnu ‘Allan mengatakan,” As Suyuthi berkata: Aku ditanya” Mengapa bulan Muharram dikhususkan dengan sebutan “Syahrullah Al Muharram” sedangkan bulan yang lain tidak. Padahal, ada bulan lain yang menyamai keutamaannya atau bahkan lebih utama darinya semisal Ramadhan?” Maka diantara jawaban yang aku temukan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa penamaan bulan Muharram dengan istilah Al Muharram adalah penamaan yang islami, berbeda dengan bulan selainnya di masa jahiliyah. Karena nama bulan Muharram di masa jahiliyah adalah “Shafar Al Awwal” (bulan Shafar yang pertama). Kemudian bulan setelahnya dinamakan “Shafar Ats Tsani” ( bulan shafar yang kedua). Ketika islam datang, maka Allah menamai bulan Muharram yang tadinya bernama “Shafar Al Awwal” menjadi “Al Muharram”, maka Allah kemudian menggandengkan nama bulan ini dengan namanya (sehingga menjadi: Syahrullah Al Muharram). Ini merupakan faidah yang sangat menarik dan berharga yang aku lihat dalam kitab Al Jamharah” (Al Futuhat Ar Rabaniyyah bi Syarhi Al Adzkaar An Nabawiyyah 7/100, karya Ibnu ‘Allan)

Diantara kekeliruan yang dilakukan banyak orang adalah menyebut bulan ini dengan lafadz “muharram” tanpa ada hurul alif dan lam di awalnya. Penyebutan yang benar adalah dengan lafadz “al muharram” karena orang arab tidaklah menyebut bulan ini kecuali dalam bentuk mu’arraf (mengandung huruf alif dan lam) dan demikian pulalah yang disebutkan dalam berbagai hadits yang mulia dan berbagai syair arab. (Tashwibul Mafaahim hal 75). Tidaklah huruf alif dan lam masuk dalam nama bulan kecuali untuk bulan Muharram.

Bulan Muharram dan Puasa Asyura’

Hari Asyura’ adalah hari kesepuluh di bulan Muharram menurut mayoritas ulama. Hari tersebut merupakan hari yang mulia, diberkahi, agung kedudukannya, dan memiliki keutamaan yang besar. Diantara keutamaan hari Asyura’ adalah:

1. Pada Hari Asyura’ Allah ta’ala Menyelamatkan Musa dan Bani Israil serta Menenggelamkan Fir’aun dan Pengikutnya.

Dari Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma , beliau mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah dan beliau menjumpai orang Yahudi dalm keadaan berpuasa pada hari Asyura’. Maka beliau bertanya kepada mereka, “Hari apa ini yang kalian berpuasa di dalamnya?” Mereka menjawab, ”Ini merupakan hari yang agung dimana Allah ta’ala menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan pengikutnya. Sehingga Musa berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk syukur, sehingga kami pun berpuasa sebagaimana beliau.” Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Kami lebih berhak terhadap Musa dari kalian.” Beliau pun berpuasa pada hari tersebut dan memerintahkannya.” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Puasa di Hari Asyura’ Dapat Menghapus Dosa Setahun yang Lalu.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai puasa di hari Asyura’, “Aku berharap bisa menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim)

3. Puasa di Hari Asyura’ Merupakan Puasa yang Sangat Nabi Inginkan Keutamaannya Dibandingkan Hari yang Lain.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau ditanya tentang puasa di hari Asyura’, maka beliau menjawab, “ Tidaklah aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada satu hari yang sangat beliau inginkan mendapat keutamaannya dibandingkan hari yang lain kecuali hari ini – yaitu hari Asyura’-, dan bulan ini –yaitu Ramadhan-.” (HR. Bukhari-Muslim)

Disunnahkan untuk berpuasa di tanggal sembilan Muharram beserta tanggal sepuluhnya, karena hal ini merupakan keadaan akhir yang dilakukan Nabi ketika melakukan puasa Asyura’.

Diantara perbuatan yang keliru adalah berpuasa pada tanggal sembilan Muharram saja, sedangkan yang diajarkan dalam hadits shahih adalah berpuasa pada tanggal sepuluh saja atau pada tanggal sembilan dan sepuluh. Adapun menambahkannya dengan tanggal sebelas, maka sebagian ulama menilai bahwa hadits yang menyebutkan tanggal sebelas Muharram adalah hadits yang dha’if.

Beberapa Bid’ah Berkaitan Dengan Bulan Muharram

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, ”Tidak ada satu dalil pun yang shahih dalam syariat berkenaan dengan dzikir dan doa awal tahun, yaitu untuk awal hari atau malam memasuki bulan Muharram. Banyak orang yang membuat doa, dzikir, berbagai peringatan, saling mengucapkan selamat, berpuasa di hari pertama awal tahun, menghidupkan malam di hari pertama bulan Muharram dengan sholat, dzikir, doa, berpuasa di akhir tahun dan berbagai hal lainnya yang ternyata tidak ada dalilnya.” (Tashihud Du’aa’ hal.107-108, karya syaikh Bakr abu Zaid)

Berkaitan dengan ini, berikut ini adalah diantara bid’ah yang dilakukan di bulan Muharram:

1. Membuat Perayaan Masuknya Tahun Baru Hijriyah dan Saling Mengucapkan Selamat dengan Datangnya Tahun Baru.

Betapa merasa sakitnya seorang muslim ketika melihat jama’ah kaum muslimin, baik individu maupun masyarakatnya merayakan tahun baru hijriyyah sedangkan ketika merayakannya mereka lupa

berdasar perintah siapa mereka merayakan perayaan tersebut. Apakah berdasar perintah Allah dalam Kitab-Nya? Ataukah berdasarkan perintah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah mereka melakukan demikian karena meneladani para sahabat radhiallahu ‘anhum? Sesungguhnya diantara kekeliruan yag sangat jelas adalah ketika kaum muslimin lebih memilih melakukan hal-hal yang tidak berdalil baik dari Al Qur’an maupun sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Peringatan Hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian orang di zaman ini tidaklah mengetahui hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kecuali sebagai memoar yang dibacakan sekali tiap tahun dan diadakanlah berbagai perayaan, khutbah, dan berbagai ceramah keagamaan dalam jangka waktu beberapa hari kemudian selesai dan dilupakan sampai tiba tahun selanjutnya tanpa adanya pengaruh sedikitpun pada perilaku dan amalan mereka. Oleh karena itulah Anda jumpai sebagian mereka tidak berhijrah dari negeri musyrik ke negeri Islam sebagaimana hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebaliknya, banyak di antara mereka yang berpindah dari negeri Islam ke negeri musyrik bukan karena alasan apapun selain hanya untuk mencari kemewahan dan hidup di sana dengan kebebasan hewani –wal iyadzu billah-.

3. Mengkhususkan Hari Pertama di Awal Tahun dengan Berpuasa dengan Niat Membuka Tahun Baru Tersebut dengan Puasa.

Begitu pula mengkhususkan berpuasa selama sehari di hari terakhir tahun tersebut dengan niat sebagai ucapan selamat tinggal untuk tahun tersebut dengan berdalil menggunakan hadits palsu: “Barangsiapa yang berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama di bulan Muharram, dia telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa, maka Allah akan menjadikannya sebagai penebus dosa baginya selama lima puluh tahun.”

4. Menghidupkan Malam Pertama di Bulan Muharram untuk Melakukan Ibadah.

Syaikh Abu Syamah mengatakan, ”Tidak ada satu pun dalil yang menuntunkan suatu amalan tertentu di malam pertama bulan Muharram. Aku telah mencari di berbagai riwayat baik yang shahih maupun yang dha’if dan dalam hadits-hadits maudhu’, tetapi tidak aku jumpai satu pun yang menyebutkan tentang hal tersebut.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal.239)

5. Mengkhususkan Awal Tahun Hijriyah untuk Melakukan Umrah Sebagaimana yang Dilakukan Sebagian Orang di Bulan Muharram.

6. Membuat Doa Khusus di Hari Pertama Tahun Baru yang Dinamakan dengan Doa Awal Tahun.

Semua hal tadi merupakan amalan yang tidak ada satu dalil shahih pun yang menuntunkan untuk melakukannya. Hendaknya kita merasa cukup dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, dan sejelek-jelek perkara dalam agama adalah amalan ibadah baru yang diada-adakan.

(Disarikan dari kitab “Lathaiful Ma’arif” karya Ibnu Rajab Al Hambali dan “Bida’ wa Akhtha’ Tata’allaqu bil Ayyaam Wa syuhur” karya Ahmad bin Abdullah As Sulami oleh Rizki Amipon Dasa)

4 comments

  1. terima kasih buletinnya, sudah rutin kami terima…khusus artikel tsb diatas, kiranya perlu di bahas bersama agar tidak menimbulkan bid’ah dll…perlu menyatukan pemikiran tentan bulan Muharram tsb.

  2. 5:104. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?

    7:28. Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?

    Ritual2 yang ada di Indonesia/dunia, selain dari yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah bentuk kefasikan, mereka mengakui islam, namun kemudian kafir sesudah beriman, dan secara turun temurun diikuti oleh penerus2nya, sedangkan mereka merasa mendapat petunjuk.itulah agama nenek moyangnya. mencampur aduk antara yang haq dengan yang bathil/diluar islam, bahkan mereka mengakui itulah dari islam, sampai2 mereka siap mati/jihad demi kesesatan itu…naudzubillah,
    semoga kita semua tetap pada agama islam yang murni.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *