Perayaan Maulid Nabi

At Tauhid edisi III/19

Oleh: Didik Suyadi

Salah satu hal yang memprihatinkan pada diri kaum muslimin saat ini adalah jauhnya mereka dari ilmu agama. Banyak di antara mereka yang tidak memiliki perhatian untuk mempelajari agamanya. Akibatnya adalah apa yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin pada saat ini, yaitu maraknya praktek-praktek ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyaknya acara yang diklaim sebagai bagian dari Islam, tetapi sebenarnya Islam berlepas diri dari acara tersebut. Salah satu bentuk acara yang beredar di masyarakat yang diklaim sebagai bagian dari Islam adalah perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sampai dikatakan sebagai salah satu hari besar agama Islam. Sehingga kita jumpai setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender yang ada di negara kita berwarna merah yang menunjukkan hari libur.

Agama Islam telah Sempurna

Penting untuk diketahui oleh setiap kaum muslimin bahwa agama Islam ini telah sempurna, sehingga tidak membutuhkan tambahan ataupun pengurangan terhadap syari’at yang telah ada. Segala sesuatu yang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bagian dari agama, maka pada hari ini juga merupakan bagian dari agama. Dan segala sesuatu yang bukan bagian dari agama pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka pada zaman sekarang juga bukan bagian dari agama ini. Ini merupakan kaidah penting yang hendaknya dipahami oleh setiap muslim. Allah Ta’ala menyatakan tentang kesempurnaan agama Islam ini dalam firman-Nya yang artinya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku untuk kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama bagi kalian” (QS. Al Maaidah: 3).

Maulid Nabi bukan Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Berdasarkan kaidah penting di atas, kita dapat menyatakan bahwa perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan bagian dari agama Islam karena perayaan seperti tidak pernah ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman para Sahabat radhiyallahu’anhum. Jika hal ini merupakan syari’at Allah Ta’ala, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dan telah menyampaikan kepada umatnya. Akan tetapi, karena Nabi tidak melakukannya dan juga tidak menyampaikan kepada umatnya, maka kita dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa perayaan tersebut bukan bagian dari agama Allah Ta’ala. Dan jika bukan bagian dari agama Allah Ta’ala, maka kita tidak boleh beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan hal tersebut. Karena Allah Ta’ala telah menetapkan cara-cara tertentu dalam ibadah, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bagaimana mungkin kita -sebagai seorang hamba- membuat cara atau metode sendiri untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala? Sungguh, hal ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Ta’ala karena kita melaksanakan sesuatu dalam agama-Nya yang tidak berasal dari-Nya. Selain itu, perbuatan tersebut secara tidak langsung telah mendustakan firman Allah yang telah menyatakan kesempurnaan agama Islam. Sehingga jika ada orang yang mengklaim bahwa perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bagian dari kesempurnaan agama Islam dan diadakan setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ucapannya tersebut mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia tadi.

Maulid Nabi sebagai Ungkapan Cinta Rasul?!!

Sebagian orang mungkin mengklaim bahwa acara tersebut adalah sebagai ungkapan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kita menjawab, apakah kecintaan mereka lebih besar daripada kecintaan para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal sejarah telah membuktikan bahwa para sahabat adalah orang yang paling mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka rela mengorbankan harta, bahkan jiwa mereka untuk melindungi Nabi dan membantu dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih mendahulukan kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dibandingkan kecintaan kepada diri dan keluarga mereka sendiri. Akan tetapi, ketika Nabi masih hidup, bahkan setelah Nabi wafat, tidak ada satu pun dari para sahabat yang merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula dari generasi tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kebaikan dari perayaan tersebut. Seandainya perayaan maulid Nabi merupakan kebaikan, tentu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in akan segera melakukannya. Karena mereka adalah orang-orang yang paling bersegera dalam mengerjakan kebaikan. Atau apakah kita menganggap bahwa diri kita lebih memiliki keutamaan dibandingkan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaksikan keutamaan mereka dengan sabdanya, ”Sebaik-baik manusia adalah generasiku (generasi para sahabat), kemudian generasi sesudahnya (generasi tabi’in), dan sesudahnya lagi (generasi tabi’ut tabi’in)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pendiri Organisasi Islam Berbicara tentang Maulid Nabi

Sebagai penutup dari tulisan ini, kami akan membawakan perkataan tokoh pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia -Nahdhatul Ulama (NU)- yaitu Kyai Hasyim Asy’ari dalam kitabnya At Tanbihaat Al Waajibaat liman Yashna Maulid bil Munkarot. Beliau rahimahullah mengatakan, ”Perayaan Maulid seperti yang kami gambarkan pertama kali (yang dibumbui maksiat), hukumnya adalah haram. Tidak terdapat perselisihan antara dua orang akan keharamannya dan tidak pula dua tanduk tentang terlarangnya maulid. Maulid tidaklah dianggap sebagai suatu kebaikan oleh orang-orang yang menjaga kehormatan dan memiliki keimanan. Akan tetapi maulid disenangi oleh orang-orang yang dibutakan matanya dan sangat bernafsu terhadap makanan dan minuman serta disenangi pula oleh orang-orang yang tidak takut maksiat dan tidak memperhatikan dosa. Menonton, menghadiri, dan menyumbang harta untuk perayaan tersebut, semua itu hukumnya adalah haram dan yang paling besar ke

4 comments

  1. aslkm. afwan ustadz, ko’ artikelnya ga komplit ya? padahal bagus & menyadarkan saya tentang makna peringatan maulid Nabi..

  2. Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu, adalah Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fathimiyyun) pada tahun 362 H (sekitar 400 tahun setelah wafatnya Nabi-ed)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *