Penyakit ‘Semua Agama Sama’

At Tauhid edisi IV/49

Oleh: Ari Wahyudi

Saudaraku sekalian, semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk meniti jalan yang lurus. Bagi umat Islam, kebenaran agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara yang tidak bisa lagi diutak-atik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat nanti pasti tergolong orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85). Meskipun demikian, ternyata masih ada juga orang-orang (yang disebut-sebut sebagai cendekiawan) mencoba menularkan penyakit tasykik (peragu-raguan) ke dalam tubuh umat Islam. Mereka berpendapat bahwa semua agama benar berdalih dengan kenyataan pluralisme (kemajemukan) agama yang ada di dunia ini. Nama lain ‘penyakit’ ini adalah inklusivisme, suatu istilah yang terkesan ‘mentereng’ namun menyimpan racun yang mematikan!

Sekilas tentang pluralisme dan inklusivisme

Sebagaimana yang diungkap oleh Dr. Syamsuddin Arif, bahwa pluralisme agama merupakan persenyawaan dari tiga dasar pemikiran : [1] semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transenden dan suci, [2] semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan, [3] semuanya tidak ada yang final. Artinya setiap agama harus selalu terbuka untuk dikritisi dan direvisi. Di Indonesia, pluralisme kerap dipadankan dengan inklusivisme. Oleh para pengusungnya, gagasan ini diartikan sebagai paham keagamaan yang mengakui dan menerima kebenaran agama lain. Pada hakikatnya, paham ini sangat berbahaya. Sebab ia mengajarkan bahwa agama Anda [Islam] bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak boleh Anda menganggap penganut agama lain bakal menghuni neraka. Asal mereka beriman dan berbuat baik -apa pun agamanya- bisa saja selamat. Islam berarti penyerahan diri kepada Tuhan, tidak lebih dari itu. Maka siapa pun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, meskipun secara formal dia berada di luar agama Islam, boleh disebut Muslim [?]. Jika dibiarkan, –masih menurut beliau- paham-paham ini akan bekerja menghabisi semua agama [!] (Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hal. 82-83 dengan ringkas).

Benarkah semua agama benar?

Pernyataan semua agama benar sesungguhnya pernyataan yang kekanak-kanakan, tidak ilmiah, bahkan tidak masuk akal, dan yang lebih parah lagi bertentangan dengan Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kebenaran itu adalah berasal dari Rabbmu, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al-Baqarah : 147). Allah juga berfirman tentang kebenaran Al-Qur’an (yang artinya), “Alif lam mim. Ini adalah kitab yang sama sekali tidak terdapat keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian harta yang kami rezekikan kepada mereka. Dan orang-orang yang mengimani kitab yang diturunkan kepadamu (al-Qur’an) dan kitab yang diturunkan sebelummu serta meyakini hari akhirat. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5).

Dengan mencermati ayat-ayat di atas dengan pikiran yang jernih, jelas bagi kita bahwa : [1] Kebenaran bersumber dari Allah ta’ala, [2] Allah ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk menuju kebenaran, [3] Al-Qur’an sedikitpun tidak boleh diragukan, [4] Orang-orang yang dapat memetik pelajaran dan bimbingan Al-Qur’an kemudian akan bisa mengaplikasikannya di dalam kehidupan adalah orang-orang yang bertakwa; yaitu yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, [5] di antara ciri orang yang bertakwa itu adalah mengimani perkara gaib [iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, takdir, dsb], mendirikan shalat, menunaikan zakat, membenarkan wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam –dan sekarang syariat mereka telah dihapuskan dengan syariat beliau-, dan juga mengimani hari akhirat.

Nah, dengan memperhatikan ini saja maka tampak dengan jelas bagi kita betapa rusaknya keyakinan bahwa semua agama benar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik akan berada di dalam neraka Jahannam, mereka kekal di sana selama-lamanya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangannya. Tidaklah ada seorang pun di antara umat manusia ini –Yahudi ataupun Nasrani- yang mendengar kenabianku kemudian meninggal dalam keadaan tidak mau beriman dengan ajaranku kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim). Alangkah benar sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dan alangkah dusta apa yang dikatakan oleh mereka…

Semuanya menawarkan jalan keselamatan?

Menawarkan jalan keselamatan, semua orang pun bisa. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika penawaran tersebut tidak didukung oleh bukti dan dalil yang sah alias tawaran palsu. Orang Arab mengatakan, “Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila, akan tetapi Laila tidak mengakui ucapan mereka”. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak mendapatkannya.” Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka (orang-orang kafir) berkata; ‘Jadilah kamu sebagai penganut agama Yahudi atau Nasrani pasti kamu akan mendapat petunjuk’. Katakanlah [kepada mereka itu] : Bahkan, ajaran yang benar adalah agama Ibrahim yang hanif (bertauhid), dan dia sama sekali bukan termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Al-Baqarah: 135). Kalau memang agama-agama selain Islam dapat mengantarkan kepada keselamatan lantas untuk apa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersusah payah berdakwah di Mekah untuk memberantas pemujaan berhala, mendakwahi orang-orang Yahudi dan Nasrani supaya masuk Islam, dan bahkan memerangi mereka? Dan untuk apa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam repot-repot mengajak pamannya Abu Thalib –menjelang kematiannya- untuk mengucapkan syahadat? Aduhai, tampaknya orang-orang yang termakan pemikiran ‘nyleneh’ semacam itu benar-benar tidak memahami sejarah? Atau mungkin saja otak mereka telah dicuci? Allahu yahdiihim.

Hanya ada satu jalan keselamatan

Sesungguhnya orang yang menganggap bahwa semua agama menawarkan jalan keselamatan adalah orang yang telah rusak akalnya, kalau tidak boleh dikatakan gila. Mengapa demikian? Perhatikan saja berbagai macam ajaran agama yang ada di dunia ini yang satu sama lain saling bertentangan. Orang-orang Nasrani menganggap Nabi Isa ‘alaihis salam adalah anak Tuhan, sementara umat Islam menganggap beliau adalah hamba dan rasul-Nya kepada kaumnya. Orang-orang ahli kitab menaati pendeta dan rahib dalam memutarbalikkan hukum Allah, sementara kaum muslimin menaati para ulama selama tidak untuk bermaksiat kepada Allah. Orang-orang musyrik meyakini bahwa doa mereka tidak akan sampai kecuali dengan perantara sesembahan mereka selain-Nya, sedangkan orang-orang beriman meyakini bahwa Allah Maha mengabulkan doa hamba-Nya, apa pun kedudukan mereka. Bagaimana mungkin ajaran yang saling bertentangan ini bisa dikatakan semuanya menawarkan jalan keselamatan?

Allah ta’ala mengajarkan kepada kita –melalui Sunnah nabi-Nya- agar berdoa di setiap rakaat shalat kita, “Ya Allah, tunjukilah kepada kami jalan yang lurus.” (QS. Al Fatihah: 6). Jalan yang lurus itu tidak lain adalah Islam dengan segala rincian syariat yang ada di dalamnya, yang bersih dari penyimpangan dalam hal ilmu maupun amal. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain sebab itu akan menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’aam: 153). Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan hakikat shirathal mustaqim. Hakikat dari jalan yang lurus itu adalah; jalan yang Allah hamparkan untuk hamba-hamba-Nya agar mereka bisa sampai kepada-Nya. Tidak ada jalan untuk menemui-Nya kecuali jalan itu. Semua jalan akan tertutup dan buntu bagi manusia selain jalan Allah itu yang telah diterangkan melalui lisan para rasul-Nya dan Allah jadikan jalan itu mengantarkan hamba untuk menjumpai-Nya (di akhirat kelak). Hakikat dari jalan itu adalah mengesakan Allah dalam hal peribadahan dan menunggalkan rasul-Nya dalam hal ketaatan. Sehingga tidak boleh sesuatupun disekutukan dengan Allah dalam hal ibadah kepada-Nya, dan tidak boleh mengangkat manusia manapun untuk disekutukan dengan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ketaatan… (Dinukil dari Fath Al-Majid, hal. 25).

Islam sudah final dan gamblang

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dia lah Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas semua agama. Meskipun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya” (QS. Ash-Shaff: 9). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Apakah makna Islam? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam yaitu kamu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke baitullah jika kamu mampu melakukan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim). Lalu di manakah Islam pada diri para pemeluk agama Yahudi dan Nasrani kalau demikian?

Maka teranglah bagi kita bahwa pernyataan ‘siapa pun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, meskipun secara formal dia berada di luar agama Islam, boleh disebut Muslim’ tidak lebih daripada kedustaan atas nama agama Islam, dusta atas nama Allah, atas nama rasul-Nya, dan atas nama para ulama!! Padahal berbicara tentang agama tanpa ilmu merupakan dosa yang sangat-sangat besar! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan berbagai perbuatan keji yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa haq, mempersekutukan sesuatu dengan Allah padahal tidak ada sama sekali hujjah yang Allah turunkan untuk mendukungnya, dan kalian berkata-kata atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A’raaf : 33).

Bukankah mereka juga beriman dan berbuat baik?

Sebagian orang yang sudah termakan oleh penyimpangan yang satu ini bisa saja mengatakan, “Bukankah mereka (Yahudi dan Nasrani serta pemeluk agama lain) juga beriman dan berbuat baik? Padahal, Allah menjanjikan keberuntungan bagi orang yang beriman dan berbuat baik.”

Saudaraku, marilah kita cermati hal ini dengan pikiran yang jernih. Apakah makna iman dan apa yang dimaksud dengan berbuat baik atau amal saleh? Karena boleh jadi pemahaman kita tentang iman masih terbatas pada keyakinan bahwa Allah itu ada, atau amal saleh adalah berbuat baik kepada sesama manusia belaka. Padahal ternyata kedua istilah itu tidak sesempit yang mereka sangka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim). Keimanan kepada Allah meliputi keimanan kepada rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat-Nya. Sedangkan keimanan kepada rasul ialah dengan membenarkan beritanya, menaatinya, dan beribadah kepada Allah dengan syariatnya.

Oleh sebab itu amal tidak dinamakan sebagai amal saleh kecuali jika memenuhi 2 syarat ; ikhlas/bertauhid dan mengikuti tuntunan, tidak tercampur syirik dan bukan bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari agama kami maka tertolak.” (HR. Muslim). Apabila orang-orang kafir dan musyrik berbuat baik kepada sesama di dunia –tapi mereka tetap bertahan di atas kekafirannya- maka Allah akan membalas kebaikan mereka itu di dunia saja, sementara di akhirat Allah mengharamkan mereka masuk ke dalam surga. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maa’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menginginkan kesenangan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami akan menyempurnakan balasan atas amal mereka di sana (di dunia), dan mereka di sana sama sekali tidak dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akhirat kelak kecuali neraka, dan lenyaplah seluruh yang mereka lakukan dan sia-sialah amal yang dulu mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16).

Di akhir tulisan ini, pantaslah jika kita semua mau merenungkan nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah ajaran yang aku tinggalkan untuk kalian ini apa adanya. Sesungguhnya sumber kebinasaan umat-umat sebelum kalian adalah karena mereka suka mempertanyakan dan sering menyelisihi nabi-nabi mereka…” (HR. Bukhari). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku telah meninggalkan kalian di atas (hujjah) yang sangat jelas, malamnya bagaikan siangnya. Siapa saja yang menyimpang darinya setelah aku hidup, pasti dia akan binasa.” (HR. Ibnu Majah, Hakim dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 937 mengatakan bahwa hadits ini shohih) Barangsiapa yang tidak merasa cukup dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, maka semoga Allah tidak memberikan kecukupan kepadanya. Bukan ajaran Nabi yang perlu dikritisi dan direvisi, namun akal kitalah yang seharusnya diperbaiki. Wallahu waliyyut taufiq. [Ari Wahyudi]

9 comments

  1. benar apa yang anda tulis bahwa kebenaran itu tunggal, tidak plural… dan saya menyimpulkan dari apa yang saya pelajari dari al-qur’an bahwa inti dari kebenaran yang tunggal itu adalah bahwa “engkau mengabdi kepada Alloh saja dan tidak mensekutukan Dia dengan sesuatu apapun (dalam pengabdian)”… para Nabi dan Rosul semuanya menyerukan hal ini kepada umatnya masing-masing, jadi bersifat universal…inilah yang dinamakan at-tauhid…inilah prinsip yang paling mendasar dari pada Islam …lalu yang lain merupakan penerapan atas prinsip dasar ini… dari dulu hingga sekarang banyak orang telah menyempal dari prinsip dasar ini dan ini akan membinasakan mereka, seperti yang terjadi pada umat-umat sebelum kita…bagaimana kita mengabdi kepada Alloh? ya tentu kita harus tahu apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh Alloh, hal ini tidak mungkin diketahui tanpa melalui wahyu dari Alloh… jika semua perintah Alloh kita amalkan dan semua larangan-Nya kita jauhi, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi dan Rosul yang terakhir Rosululloh SAW dalam as-sunnah, dengan niat ikhlas karena Alloh semata maka inilah yang dinamakan mengabdi kepada Alloh…Jadi mana bisa kebenaran itu plural? kalau ada orang mengatakan bahwa kebenaran itu plural, sadar atau tidak, pasti ia telah berdusta.

  2. Setujuh…kebenaran ituh satu…yaitu yg dibawa oleh Rasulullah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

  3. ya saya ssetuju kebenaran itu satu hanya dari allah swt yang dibawa rasulullah saw sungguh bahagialah orang2 yg menjadi muslim yg hanya berpegang dg alquran& hadis rasulullah apakah anda sudah pernah baca buku iman & dan persoalan nya dari global lkhwan coba anda baca bagus bangat ok?

  4. kebenaran memang satu dan agama2 samawi sebelum islam juga satu2nya yg benar pada jamannya,, sdg Islam maka kebenarannya berlaku sepanjang masa, situasi, keadaan dan kondisi…

  5. ‘Assalamu alaykum ustadz wr wb,…??
    Alhamdulillah dangan ulasan artikel di atas ana dapat mengerti kedudukan islam, karna baru belajar AGAMA.
    SYUKRON uSTADZ’ Atas penjelasannya
    dan perkenangkanlah ana meng COVAS artikelnya, buat teman2 ana di FB.
    barakhalahu fikum

  6. جَزَاك اللّهُ خَيْرًا  izin share ustadz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *