Antara Tawakkal dan Usaha Mencari Rizki yang Halal

Buletin At-Tauhid edisi 22 Tahun XI

tawakal

Syariat Islam yang agung sangat menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan usaha halal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan tetap menekankan kewajiban utama untuk selalu bertawakal (bersandar/berserah diri) dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam semua usaha yang mereka lakukan.

Allah Ta’ala berfirman (artinya) :“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”  (QS al-Jumu’ah:10).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman (artinya) :“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya)” (QS Ali ‘Imraan:159).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda“Orang mukmin yang kuat (dalam iman dan tekadnya) lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing (dari keduanya) memiliki kebaikan, bersemangatlah (melakukan) hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah (selalu) pertolongan kepada Allah, serta janganlah (bersikap) lemah…” (HR. Muslim).

Makna Tawakkal yang Hakiki

Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Tawakkal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya dan meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah (semata)” (Kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam). Tawakkal termasuk amal yang agung dan memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam, bahkan kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan tawakal kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman (artinya) “(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung” (QS al-Muzzammil : 9) (Lihat kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad). Merealisasikan tawakkal yang hakiki adalah sebab utama turunnya pertolongan dari Allah Ta’ala bagi seorang hamba dengan Dia mencukupi semua keperluan dan urusannya. Allah Ta’ala berfirman (artinya)“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq : 2-3). Maknanya: Barangsiapa yang percaya kepada Allah dalam menyerahkan (semua) urusan kepada-Nya maka Dia akan mencukupi (segala) keperluannya (Kitab “Fathul Qadiir).

Salah seorang ulama salaf berkata: “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allah adalah dengan Dia mengetahui (adanya) tawakal yang benar kepada-Nya dalam hatimu, berapa banyak hamba-Nya yang memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun mencukupi (semua) keperluan hamba tersebut”. Kemudian ulama ini membaca ayat tersebut di atas (Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam”).

Usaha yang Halal Tidak Bertentangan dengan Tawakkal

Di sisi lain, agama Islam sangat menganjurkan dan menekankan keutamaan berusaha mencari rezki yang halal untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebutkan keutamaan ini dalam sabda beliau :“Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya sendiri (yang halal)” (HR an-Nasa-i, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Hakim, shahih). Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersungguh-sungguh mencari usaha yang halal dan bahwa usaha mencari rezki yang paling utama adalah usaha yang dilakukan seseorang dengan tangannya sendiri (Lihat kitab “’Umdatul qaari” dan “Faidhul Qadiir”). Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali tidak bertentangan dengan usaha mencari rezki yang halal, bahkan ketidakmauan melakukan usaha yang halal merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah Ta’ala , yang ini justru menyebabkan rusaknya tawakal seseorang kepada Allah.

Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesempurnaan tawakal yang tidak mungkin lepas dari usaha melakukan sebab yang halal, dalam sabda beliau, “Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim, shahih). Imam al-Munawi ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Artinya: burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, bukanlah usaha (sebab) yang telah dilakukan tersebut yang mendatangkan rezki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allah Ta’ala  (semata).

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa tawakal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezki).

Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata: “Hadits ini tidak menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) menunjukkan (kewajiban) mencari rezki (yang halal), karena makna hadits ini adalah: kalau manusia bertawakal kepada Allah ketika mereka pergi (untuk mencari rezki), ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua aktifitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan limpahan rezki (dari-Nya), sebagaimana keadaan burung (” Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab “Tuhfatul ahwadzi”).

Imam Ibnu Rajab memaparkan hal ini secara lebih jelas dalam ucapannya: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya merealisasikan tawakal tidaklah bertentangan dengan usaha untuk (melakukan) sebab yang dengannya Allah Ta’ala  menakdirkan ketentuan-ketentuan (di alam semesta), dan (ini merupakan) ketetapan-Nya yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Karena Allah Ta’ala  memerintahkan (kepada manusia) untuk melakukan sebab (usaha) sebagaimana Dia memerintahkan untuk bertawakal (kepada-Nya), maka usaha untuk melakukan sebab (yang halal) dengan anggota badan adalah (bentuk) ketaatan kepada-Nya, sebagaimana bertawakal kepada-Nya dengan hati adalah (perwujudan) iman kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya)“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu” (QS an-Nisaa’ : 71). Dan firman-Nya :“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang” (QS al-Anfaal : 60). Juga firman-Nya“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu’ah : 10)( Kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam). Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari: “Barangsiapa yang mencela tawakal maka berarti dia telah mencela (konsekuensi) iman, dan barangsiapa yang mencela usaha untuk mencari rezki maka berarti dia telah mencela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Dinukil oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitab “Hilyatul auliyaa’”).

Tawakkal yang Termasuk Syirik dan yang Diperbolehkan

Dalam hal ini juga perlu diingatkan bahwa tawakkal adalah salah satu ibadah agung yang hanya boleh diperuntukkan bagi Allah Ta’ala semata, dan mamalingkannya kepada selain Allah Ta’ala adalah termasuk perbuatan syirik. Oleh karena itu, dalam melakukan usaha hendaknya seorang muslim tidak tergantung dan bersandar hatinya kepada usaha/sebab tersebut, karena yang dapat memberikan manfaat, termasuk mendatangkan rezki dan menolak bahaya adalah Allah Ta’ala  semata, bukan usaha/sebab yang dilakukan manusia, bagaimanapun tekun dan sunguh-sungguhnya dia melakukan usaha tersebut. Maka usaha yang dilakukan manusia tidak akan mendatangkan hasil kecuali dengan izin Allah Ta’ala (Lihat kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad”). Dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa termasuk perbuatan syirik besar (syirik yang dapat menyebabkan pelakuknya keluar dari Islam) adalah jika seorang bertawakkal (bersandar dan bergantung hatinya) kepada selain Allah Ta’ala dalam suatu perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali olah Allah Ta’ala semata.

Adapun jika seorang adalah jika seorang bertawakal (bersandar dan bergantung hatinya) kepada makhluk dalam suatu perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk tersebut, seperti memberi atau mencegah gangguan, pengobatan dan sebagainya, maka ini termasuk syirik kecil (tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tapi merupakan dosa yang sangat besar), karena kuatnya ketergantungan hati pelakunya kepada selain Allah Ta’ala, dan juga karena perbuatan ini merupakan pengantar kepada syirik besar, na’uudzu bilahi min dzalik. Sedangkan jika seorang melakukan usaha/sebab tanpa hatinya tergantung kepada sebab tersebut serta dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata, dan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, maka inilah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam  (Lihat “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” dan “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid”).

Penutup

Tawakkal yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala akan menumbuhkan dalam hati seorang mukmin perasaan ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala  sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya” (HR Muslim).

Semoga Allah Ta’ala  memudahkan kita semua untuk mencapai kedudukan yang agung ini dan semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk memiliki sifat-sifat mulia dan terpuji dalam agama-Nya.

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id (dengan sedikit perubahan oleh redaksi)

 

Pertanyaan

Apakah Makna Tawakkal yang Hakiki?

 

Jawaban

Tawakkal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya dan meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah (semata).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *